Kajian Wacana
A. Pengertian
Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang
demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji;
penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan
wacana menurut Harimurti Kridalaksana adalah satuan
bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau
satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses
penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh
masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya.Untuk memahami secara
mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang.Ada enam ancangan kajian
wacana, diantarannya
1.
Kajian Pragmatik
Kajian
wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan
substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran
kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata
pragmatik.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin
(2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum
tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana
penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng
ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar
belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara
langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan
secara singkat dalam berkomunikasi..
Penawaran
pragmatik model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007:
269) pada
analisis wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks
kerja sama untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan
situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu
menciptakan tahapan pola bicara.
2.
Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah
kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan
dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat,
kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi
komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan
komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya
mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi,
lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung
terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu.
Menurut
Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269), linguistik
yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini
dikenal dengan nama sosiolinguistik.
3.
Kajian Analisis Variasi
Ancangan
wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi
linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada
pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara
semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.
4.
Teori Tindak Tutur
Tindak tutur
atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral
dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan.
Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah
kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Dari literatur
pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang
yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya
itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech
event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang
mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang
mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin
(1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung
sekaligus, yaitu:
1.
Tindak
tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
(pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.
Tindak
tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak
tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi
berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.
Tindak
tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
Tindak tutur
juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung.Tindak tutur langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk
membuat suatu pernyataan, sedangkan tindak tutur tidak langsung merupakan
bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan.Penggunaan
tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung.Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara
konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu,
dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu.Kesesuaian antara modus dan
fungsinya secara konvensional inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif
digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang
digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak
langsung. Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”.Jika stuturan
ini digunakan untuk membuat suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan
kepada pendengar tentang cuaca maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak
tutur langsung.Sedangkan jika tuturan itu digunakan untuk membuat suatu
perintah atau permohonan dalam arti si penutur memohon kepada pendengar agar
menutup pintu, maka tuturan tersebut berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak
langsung.
5. Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di
pembahasan sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang
semestinya.Akan tetapi, definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional
ini adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang
akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian
ini, Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik
interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke
kerja Goffman.
Bahwa
sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus
pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada
ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka
kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk
konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi
makna. Mencoba menemukan penempatan makna
dan mencari bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan
pemerolehan interaksi.
6. Kajian Analisis
Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana
(Achmad, 2006:11) dalam http://abdurahman-padang.blogspot.com/2012/11/analisis-percakapan-pasambahan.html. Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli
sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan
dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda
dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga
mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat untuk
menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan
wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya
urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan
sosial yaitu bagaimana bahasa
menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia
yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada
dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu
dianalisis.
B.Manfaat
Kajian Wacana Dalam Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila
dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya.
Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1)
Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus
mencari solusinya.
2)
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil
setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
3)
Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat
dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
4)
Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana.
5)
Kajian wacana memberikan
kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal.
6)
Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak
pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga
memerkaya pengalaman dan pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar