Jumat, 22 Mei 2015

Kajian wacana



Kajian Wacana
A.    Pengertian Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan wacana menurut Harimurti Kridalaksana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya.Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang.Ada enam ancangan kajian wacana, diantarannya
1.      Kajian Pragmatik
Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan secara singkat dalam berkomunikasi..
Penawaran pragmatik model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) pada analisis wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks kerja sama untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu menciptakan tahapan pola bicara.
2.      Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu.
Menurut Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269), linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik.

3.      Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.

4.      Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1.      Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.      Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.      Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih. 
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.Tindak tutur langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan, sedangkan tindak tutur tidak langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan.Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung.Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu.Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”.Jika stuturan ini digunakan untuk membuat suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan kepada pendengar tentang cuaca maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak tutur langsung.Sedangkan jika tuturan itu digunakan untuk membuat suatu perintah atau permohonan dalam arti si penutur memohon kepada pendengar agar menutup pintu, maka tuturan tersebut berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.
5.      Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi, definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna. Mencoba menemukan penempatan makna dan mencari bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan pemerolehan interaksi.
6.      Kajian Analisis Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana (Achmad, 2006:11) dalam http://abdurahman-padang.blogspot.com/2012/11/analisis-percakapan-pasambahan.html.  Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan sosial  yaitu bagaimana bahasa menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu dianalisis.
B.Manfaat Kajian Wacana Dalam Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1)        Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus mencari solusinya.
2)        Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
3)        Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
4)        Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana.
5)        Kajian wacana memberikan  kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal.
6)        Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga memerkaya pengalaman dan pengetahuan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar